Untuk melanjutkan tulisan kemarin tentang Kehujjahan Hadis Ahad, maka kali ini penulis akan meneruskan artikelnya dengan judul Kehujjahan Hadis Mursal, semoga artikel -artikel tersebut bisa bermanfaat.
Hadis mursal adalah hadis yang gugur perawi dari
akhir sanadnya seorang perawi setelah tabi’in (perawi pada tingkat sahabat).
Imam Syafi’i sangat cermat mengenai kesempurnaan sanad hadis, biasanya ia
menolak
sebuah tradisi jika seorang periwayatnya hilang di tengah-tengah maupun hilang di akhir
rangkaian. Beliau juga biasanya tidak
menerima tradisi mursal ataupun munqathi’ (tradisi dengan rantai
terputus). Pada masa awal Islam, bahkan pada
generasi Imam Malik dan
sebelumnya, sangat kecil sekali
penekanan yang diberikan pada mata rantai periwayatnya.
Karena itu, sering sekali para ulama awal beradu pendapat atas dasar
tradisi-tradisi mursal maupun munqathi’ dan sering kali
tanpa menyebutkan sesuatu
mata rantai penyampaian
sama sekali. Mengenai hadis mursal, Imam Syafi’i
mengajukan beberapa syarat yang harus diberlakukan, dia tidak menjadikan hadis mursal sebagai
hujjah kecuali dengan syarat-syarat yang diajukannya itu.
Untuk lebih jelasnya berikut ini penulis
nukilkan pendapatnya:
Barang siapa di antara tabi’in yang mengalami masa
hidup sahabat-sahabat Rasulullah SAW meriwayatkan hadis yang terputus dari Nabi
SAW, maka hadisnya itu diberlakukan dengan beberapa syarat, diantaranya: hadis
yang diriwayatkannya secara mursal itu diteliti. Apabila ada beberapa ḥafiẓ terpercaya yang turut
meriwayatkannya lalu mereka menyandarkannya kepda Rasulullah SAW dengan makna
yang sama riwayatnya, maka hal itu yang menunjukkan kebenaran sahabat perawi yang
menjadi sumbernya serta hafalan tabi’in tersebut. Namun apabila ia sendiri yang
meriwayatkan hadis yang secara mursal tanpa ada perawi lain yang
menyandarkannya kepada Rasulullah SAW, maka riwayatnya ini tetap diterima
dengan pertimbangan, ada atau tidak ada perawi mursal lain yang sejalan
dengannya dan informasinya bisa diterima? Jika ada, maka riwayat lain yang juga
mursal tersebut dapat menguatkan riwayat mursalnya, namun ia lebih lemah
daripada kategori pertama. Bila tidak ada, maka perlu diteliti riwayat dari
sebagian sahabat Rasulullah SAW dalam bentuk pendapat.
Apabila ditemukan riwayat yang sejalan dengan
riwayat ini dari Rasulullah SAW, maka hal itu menunjukkan bahwa perawi tidak
mengambil hadis mursalnya kecuali dari sumber yang shahih, insya Allah.
Demikian pula apabila ditemukan mayoritas ulama memberi fatwa yang
semakna dengan hadis yang diriwayatkan dari Nabi SAW.
Selanjutnya
ada pertimbangan lain, yaitu bahwa ketika ia menyebut nama perawi yang menjadi
sumbernya, maka perawi ini tidak disebut majhul
tidak
pula ditolak riwayatnya, dan bisa dijadikan bukti tentang kebenaran riwayatnya.
Juga perlu dipertimbangkan ketika ia bersama-sama
dengan seorang huffāẓ dalam
meriwayatkan sebuah hadis yang tidak bertentangan dengan hadisnya, hal
itu menunjukkan kebenaran hadisnya. Tetapi jika bertentangan, maka hal itu
menunjukkan bahwa hadisnya kurang sempurna.
Ketika riwayatnya tidak seperti yang saya
jelaskan, maka ia telah meriwayatkan hadis yang tidak lepas dari kritikan,
sehingga tidak seorang ulama pun boleh menerima hadis mursalnya. Apabila
ditemuka bukti-bukti tentang kebenaran hadisnya sesuai yang saya kemukakan,
maka kami condong menerima hadis mursalnya.
Kami tidak bisa mengkalim bahwa argumen yang
ditetapkan dengan hadis mursal sama kuatnya dengan argument yang ditetapkan
dengan hadis muttashil, karena hadis munqathi’ tidak diketahui statusnya. Bisa
jadi ia bersumber dari orang yang bila namanya disebutkan maka riwayatnya tidak
disukai. Juga karena sebagian hadis munqhathi’, meskipun sejalan dengan hadis
mursal sejenisnya terkadang berasal dari satu sumber, yang bila disebutkan
namanya maka hadis ini tidak bisa diterima. Juga karena perkataan sebagian
sahabat Nabi SAW, jika ia berkata menurut pendapatnya namun sejalan dengan
hadis menunjukkan kebenaran sumber hadis, dan petunjuk ini sangat kuat untuk
dipertimbangkan. Ada kemungkinan ia keliru ketika mendengar ucapan sebagian
sahabat Nabi SAW yang sejalan dengan riwayatnya. Hal ini juga bisa terjadi pada
sebagian ahli fiqih.
Dari
ungkapan diatas, menunjukkan
bahwa Imam Syafi’i
menerima sebagian
hadis mursal dengan argumen-argumen yang disebutkannya, namun
secara hati-hati dan teliti.
Imam Syafi’i menerima hadis mursal yang rawinya berujung
pada kibār at-tābi’in itupun harus
dilengkapi dengan beberapa syarat, baik
pada matan maupun
sanad hadis. Tapi
Imam Syafi’i tidak menerima
hadis mursal setelah kibār at-tābi’in.
Imam
Syafi’i tidak mau menerima hadis mursal dari mereka dalam keadaan apapun juga.
Karena menurutnya tidak diketahui setelah masa tabi’in besar hadis mursalnya
dapat diterima. Ini disebabkan oleh 3 (tiga) hal:
1) Mereka
tidak bersikap sangat hati-hati terhadap perawi yang menjadi sumber riwayat
mereka.
2) Ditemukan
bukti-bukti yang menunjukkan kelemahan sumber riwayat mursalnya.
3)Mereka
sering mengubah kalimat.
Ketiga kondisi tersebut sangat memungkinkan terjadinya
kekeliruan dan kelemahan para perawi sumber.
Jika
diklasifikasikan, setidaknya ada empat faktor yang disyaratkan oleh Imam
Syafi’i dimana salah satunya harus mendukung terhadap hadis mursal tersebut,
yaitu: Pertama, diriwayatkan secara musnad melalui jalan lain.
Kedua, diriwayatkan
secara mursal juga oleh rawi lain yang tidak menerima hadis dari
guru-guru pada sanad yang pertama, karena hal ini menunjukkan berbilangnya
jalur hadis itu. Ketiga, sesuai dengan pendapat sebagian sahabat. Keempat,
sesuai dengan pendapat kebanyakan ahli ilmu. Harus disepakati bahwa perawi yang
meriwayatkan hadis mursal tersebut harus meriwayatkan dari guru yang adil.
Periwayatan secara mursal ini
terjadi secara umum, dan diterima pada masa awal atau abad I hingga menjelang
abad II akhir. Sampai kemudian Imam Syafi’i datang untuk mempertanyakan kondisi
mursal ini. Abu Dawud as-Sajastani berkata:
ﱴﺣ ﻲﻋازوﻻاو ﺲﻧا ﻦﺑ ﻚﻟﺎﻣو يرﻮﺜﻟا
نﺎﻴﻔﺳ ﻞﺜﻣ ءﺎﻤﻠﻌﻟا
ﺎ جﺎﺘﳛﺪﻘﻓ ﻞﻴﺳاﺮﳌاﺎﻣاو ﻪﻴﻓ ﻢﻠﻜﺘﻓ ﻲﻌﻓﺎﺸﻟاءﺎﺟ
“Adapun hadis mursal dahulu dinilai otoritatif
oleh para ulama seperti Sufyan al-Tsauri, Malik bin anas, dan al-Auza’i, hingga
kemudian asy-Syafi’i datang untuk membicarakannya.”
Muhammad bin Jarir ath-Thabari
juga berkata:
ﻩدﺮﺑ
لﻮﻘﻟا ﲔﺘﺋﺎﳌا
ث ﺪﺣ ﱴﺣ ﻪﻟﻮﺒﻗو
ﻞﺳﺮﳌﺎﺑ ﻞﻤﻌﻟا ﻰﻠﻋ سﺎﻨﻟا
لﺰﻳ ﱂ
“Tidak henti-hentinya orang-orang mengamalkan dan
m enerima hadis mursal, hingga kemudian setelah abad II terjadi penolakan dan
kemudian berkembang penolakan tersebut.”
Senada dengan ini, Wahbah Zuhaili juga menyebutkan
bahwa, Imam Syafi’i adalah orang pertama yang mengkritik hadis- hadis mursal.
Dan pandangan Imam Syafi’i itu telah membedakan dirinya dengan Imam Tsauri,
Imam Malik, dan Imam Abu Hanifah yang tetap menjadikan hadis mursal sebagai
hujjah.
Kalau melihat pernyataan di atas, sanad secara
formal belum begitu diperhatikan pada masa tabi’in dan masa setelahnya, sampai
pada masa Imam Syafi’i lah sanad mulai diperketat bunyi formalnya. Menurut
penulis ini adalah sikap kehati-hatian Imam Syafi’i dalam menerima hadis-hadis
yang tidak tersambung sanadnya, karena pada masa sebelumnya para ulama
tampaknya tidak begitu memperhatikan tentang sanad.
Penetapan syarat-syarat sebagaimana ditetapkan
Imam Syafi’i di atas, tidak berarti secara otomatis menempatkan posisi hadis
mursal sampai pada derajat hadis muttashil, beliau juga tidak mengklaim bahwa
argumen yang ditetapkan dengan hadis mursal sama dengan argumen yang ditetapkan
dengan hadis muttashil (hadis yang bersambung sanadnya). Hal ini wajar,
mengingat hadis munqathi’ tidak dapat diketahui statusnya.
Konsekuensinya ialah jika terjadi
pertentangan antara hadis mursal dengan hadis yang muttashil, maka
secara otomatis, kedudukan hadis mursal ini menjadi tertolak. Hal ini
dikarenakan selain bertentangan dengan syarat yang diajukan oleh Imam Syafi’i,
hal itu juga tertolak secara logika bahwa hadis mursal posisinya tidak sampai
pada derajat hadis muttashil.
Jika dilakukan analisis perbandingan mengenai
kehujjahan hadis mursal, maka akan nampak perbedaan di antara para ulama.
Menurut ‘Ajjaj al-Khatib perbedaan mengenai kehujjahan hadis mursal mencapai
sepuluh pendapat. Akan tetapi yang masyhur ada tiga: sebagai
berikut:
a) Menerima
secara mutlak, seperti yang masyhur dari Imam Abu Hanifah dan Imam Malik, Imam
Ahmad dan sekelompok ahli ilmu. Hal ini terjadi apabila para rawi dari
rangkaian sanad hadis mursal adalah orang-orang yang tsiqah.
b) Menolaknya
secara mutlak, seperti yang diriwayatkan oleh Imam Nawawi dari mayoritas ahli
hadis, Imam Syafi’i dan mayoritas ulama fiqih dan ushul.
c) Menerima
apabila didukung dengan hadis musnad, atau didukung dengan hadis mursal yang
lain. Demikian juga dapat diterima apabila sebagian sahabat dan kebanyakan
pakar ilmu mengamalkan tentang hadis mursal tersebut.
Perbedaan-perbedaan di atas menegaskan, bahwa antara ulama
hadis dan fuqaha terjadi perbedaan pandangan dalam menyikapi hadis mursal. Jika
ulama hadis cenderung selektif dalam penerimaan hadis mursal, karena pada
dasarnya hadis mursal ini dianggap dha’if dan mardud, disebabkan
hilangnya salah satu syarat diterimanya suatu hadis, yakni, sanadnya harus
bersambung,menyandarkan riwayatnya kepada Nabi saw tanpa
menyebutkan dari siapa dia meriwayatkan hadis
tersebut.