Posted by Islam on Sunday, 29 March 2015
Imam Syafi’i menegaskan bahwa hadis atau sunnah
merupakan hujjah dalam syari’at Islam. Pendapat ini dikemukakan Imam Syafi’i untuk menyangkal
semua pendapat yang dipegang oleh pihak-pihak yang tidak mau mengakui sunnah
sebagai hukum Islam, dengan dalil yang kuat dan tidak dapat digoyahkan oleh
sangkalan dan penentangan. Oleh sikapnya itulah para ulama Irak menjulukinya
dengan sebutan “Multazim as-Sunnah”
(seorang yang teguh pada sunnah), atau “N āshir
al-Hadīts” (pembela
hadis).
Imam Syafi’i selalu memandang hadis shahih
sebagaimana dia memandang kitab suci yaitu al-Qur’anul karim, yang semuanya
sama-sama wajib untuk diikuti dan di taati. Beliau sama sekali tidak
menggunakan syarat seperti syarat yang ditetapkan oleh Imam Abu Hanifah yang
mengharuskan sebuah hadis memiliki tingkat kemasyhuran tertentu jika hadis
tersebut ditemukan dalam kondisi yang sulit. Begitu juga Imam Syafi’i tidak
menggunakan persyaratan yang dipakai oleh Imam Malik yang mewajibkan setiap
hadis untuk tidak bertentangan dengan apa yang telah diketahui oleh para
penduduk ahli Madinah. Alih-alih, Imam Syafi’i hanya mensyaratkan bahwa sebuah
hadis yang dapat dijadikan sumber hukum haruslah sebuah hadis shahih yang
memiliki sanad yang bersambung.
Untuk meneguatkan pendapatnya mengenai kedudukan
dan kehujjahan hadis, beliau mengutip ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan
perintah
Allah
SWT untuk mengikuti
sunnah Nabi Muhammad SAW. Secara ringkasnya adalah sebagai
berikut:
a) Iman
terhadap Nabi Muhammad saw mengharuskan tunduk pada semua perkataan, tingkah
laku, dan ketetapan beliau.
b) Salah
satu tugas terpenting Rasulullah SAW adalah menyampaikan Al-Kitab dan Al-Hikmah.
Yang dimaksud dengan al-Kitab adalah
al-Qur’an, sementara yang dimaksud dengan al-Hikmah adalah hadis-hadis
Rasulullah saw.
c) Allah
SWT mewajibkan segenap mukminin untuk taat dan mengikuti Rasulullah Muhamad SAW.
Jadi bagi siapa saja yang telah dinyatakan wajib untuk ditaati maka semua
ucapannya juga wajib dipatuhi, dan siapa pun yang melanggar ucapan tersebut
dianggap sebagai pendosa.
d) Allah
SWT telah menetapkan semua orang yang melanggar hukum Rasulullah saw sebagai
orang yang telah keluar dari Islam. Oleh sebab itu, semua hukum yang ditetapkan
oleh Rasulullah saw merupakan harus diikuti dan menjadi hujjah yang kuat.
e)
Allah SWT telah memerintahkan kepada Rasulullah saw untuk
menyampaikan risalah-Nya, menjelaskan syari’at, dan mengikuti wahyu. Allah SWT
juga telah menyatakan bahwa Rasulullah benar-benar telah menyampaikan,
memberitakan, dan mengikuti wahyu. Dalam menyampaikan risalah-Nya Rasulullah
saw melakukan dengan membacakan al-Qur’an kepada manusia kemudian menjelaskan
isinya.
Dengan demikian yang dimaksud syari’at sebenarnya tak lain
adalah al-Qur’an dan ucapan-ucapan Rasulullah saw.
Selain menyebutkan kedudukan hadis sebagai hujjah
(sumber hukum), Imam Syafi’i juga menjelaskan tentang fungsi hadis terhadap
al-Qur’an, menurutnya, ada dua fungsi hadis terhadap al-Qur’an:
Pertama, mengkonfirmasi nash al-Qur’an
sebagaimana diturunkan oleh Allah SWT. Kedua, menjelaskan tentang
makna yang dimaksud Allah dari lafaẓ-lafaẓ yang dijelaskan secara garis
besar dalam al-Qur’an . Dalam hal ini Rasulullah saw menjelaskan bahwa
Allah mewajibkan suatu perkara, secara umum atau khusus, dan bagaimana
seseorang harus mengerjakannya sesuai dengan yang dikehendaki Allah. Dalam
keduanya ini, Rasulullah tetap mengikuti kitab Allah (al-Qur’an).
Kemudian
Imam Syafi’i menyatakan, bahwa Sunnah Nabi saw memeliki tiga fungsi terhadap Al-Qur’an.
Namun sebagian ulama sepakat pada dua fungsi yang awal, dan berbeda pendapat
mengenai fungsi yang ketiga.
a) Rasulullah
mengkonfirmasi dan mengulangi apa yang diturunkan nashnya oleh Allah di dalam
al-Qur’an.
b) Rasulullah
menjelaskan tentang makna dari apa yang dijelaskan Allah dalam al-Qur’an secara
garis besar.
c) Rasulullah
SAW menetapkan sesuatu tanpa ada sandaran nash di dalam al-Qur’an.
Menurut
sebagian ulama, kewenangan Nabi saw untuk menetapkan suatu perkara yang tidak
ada sandaran dari nash al-Qur’an itu dikarenakan Allah mewajibkan umat Islam
agar taat kepada Nabi Muhamad saw. Oleh sebab itu, Allah memberikan
kewenangan kepada Nabi untuk menetapkan perkara yang tidak ada sandaran nashnya
di dalam al-Qur’an.
Imam
Syafi’i juga mengungkapkan pendapat sebagian ulama yang lain, menurut mereka,
Rasulullah saw tidak menetapkan satu sunnah pun melainkan ia memiliki dasar di
dalam al-Qur’an, sebagaimana sunnah beliau yang menjelaskan jumlah rakaat
shalat dan tata cara pelaksanaannya, dengan bersandar pada kewajiban shalat
secara garis besar di dalam al-Qur’an. Begitu pula Sunnah Rasulullah saw
mengenai jual beli dan aturan-aturan lain.
demikian pembahasan yang di ambil dari kitab ar-risalah karya imam Syafi'i tentang Kedudukan dan Kehujjahan Hadis semoga artikel ini bisa bermanfaat bagi para pembaca, baca juga artiket tekait tentang
Kehujjahan Hadis Ahad