Posted by Islam on Sunday, 29 March 2015
Ahad menurut bahasa mempunyai arti satu, dan khabar
al-wāhid adalah
yang diriwayatkan oleh satu orang. Sedangkan hadis ahad menurut istilah adalah
hadis yang belum memenuhi syarat-syarat hadis mutawatir.Masalah hadis ahad ini
telah dibahas tuntas dan panjang lebar oleh ulama besar yaitu beliau Imam
Syafi’i dalam banyak kesempatan/ tulisan, dalam kitab Ar-Risalah karya Imam Syafi’i. beliau membuat satu bab yang
panjang tentang kewajiban menerima hadis ahad.
Menurut
Imam Syafi’i hadis ahad atau hadis khashshah dalam istilah beliau, dapat
dijadikan hujjah jika memenuhi beberapa hal sebagai berikut:
a.
Rangkaian periwayat (sanad) harus
bersambung sampai pada Nabi saw
b. Orang
yang meriwayatkannya harus terpercaya pengamalan agamanya (baik agamanya), ia
harus dikenal sebagai orang yang jujur dalam menyampaikan riwayat dan khabar.
c. Perawi
hadis meriwayatkan dari orang yang biasa meriwayatkan sama dengan huruf yang
didengarnya
d.
Tidak meriwayatkan
bi al-ma’na , periwayat tersebut
tidak mengetahui pergeseran
makna hadisnya,
sehingga orang tersebut tidak mengetahui barangkali ia mengalihkan halal kepada
haram. Apabila ia menyampaikan hadis sesuai hurufnya, maka tidak ada lagi
alasan kekhawatiran mengubah hadis
e.
Orang yang meriwayatkan
kuat hafalannya (apabila ia meriwayatkan dari hafalannya) dan akurat catatannya
(apabila ia meriwayatkan dari kitabnya). Apabila ia menghafal satu hadis tidak
berbeda dengan hadis yang telah diriwayatkan orang lain, yaitu orangyang lebih
kuat hafalannya.
f.
Orang yang meriwayatkan
tidak boleh seorang mudallis yang menuturkan dari orang yang ditemuinya
tentang hal yang tidak pernah didengarnya, serta ketika meriwayatkan sesuatu
dari Nabi, tidak bertentangan dengan riwayat perawi yang terpercaya.
Berikut
ini adalah beberapa contoh argumen Imam Syafi’i tentang keabsahan hadis ahad,
yang telah dirangkum oleh seorang ulama yaitu Wahbah Zuhaili dalam kitabnya al-fiqih as-syafi’I al - muyasar, diantaranya adalah sebagai
berikut:
1)
Seperti yang telah ditetapkan oleh nash al-Qur’an dan hadis bahwa penetapan
sebuah perkara dapat didasarkan pada kesaksian dua orang atau satu laki-laki
dan dua perempuan jika perkara tersebuttelah menyangkut dengan harta dan lainnya. Hal ini sama juga dengan
berlakunya pada kesaksian empat orang
dalam perzinaan, kesaksian dua orang dalam semua perkara hadd dan qishash,
dan kesaksian satu perempuan dalam semua perkara yang hanya dapat
dilihat oleh kaum perempuan saja. Demikianlah yang disepakati oleh jumhur ulama, semua ketetapan di atas
adalah ketetapan hukum yang menggunakan hadis ahad sebagai dasar. Selain itu,
Imam Syafi’i juga menerapkan hal ini dalam beberapa periwayatan yang dianggap
berasal dari Rasulullah Muhamad SAW, asalkan ia bersumber dari perawi hadis
yang adil, ṡiqah(terpercaya),
dan ẓabiṭ (mempunyai kapasitas intelektual yang
memadai). Hadis Nabi yang disampaikan oleh perawi dengan kualitas seperti itu,
tentu amat layak untuk dipakai
dengan sepenuh kesadaran bahwa perawi tersebut tidak sedang berbohong, di
samping juga karena dia sedang menyampaikan sesuatu yang dapat menghalalkan
atau mengharamkan sesuatu.
2) Rasulullah
bersabda, “Allah pasti akan menerangi hamba yang mendengar
perkataanku, kemudian menghafalnya, memahaminya, dan menyampaikannya. Berapa
banyak orang yang hafal fiqih padahal bukan seorang ahli fiqih, dan berapa
banyak orang yang menghafal fiqih berkunjung terhadap orang yang lebih pintar
darinya.” Apa yang disampaikan
oleh seseorang kepada orang lain pasti tidak akan berpengaruh apa-apa kecuali
jika yang bersangkutan terlebih dahulu menerima apa yang dikatakannya itu.
3) Para
sahabat biasa menyampaikan hukum syari’at dengan menggunakan pernyataan-pernyataan
yang berkualitas ahad, tetapi kemudian dikukuhkan oleh Rasulullah saw
sebagaimana beliau sering merasa cukup untuk meminta satu orang sahabatnya saja
sebagai utusan dalam menyampaikan hukum. Sebagai contoh dalam hal ini adalah,
ketika para sahabat shalat di Masjid Quba, mereka langsung mengubah arah kiblat
mereka dari Baitul Maqdis kearah Ka’bah hanya berdasarkan kabar yang
disampaikan oleh satu orang sahabat saja. Begitu pula halnya ketika seorang
sahabat menyampaikan hadis Rasulullah saw yang mengharamkan arak, seketika itu
pula mereka lansung memecahkan botol-botol minuman keras yang mereka miliki.
4) Pada
satu waktu Nabi saw mengutus dua belas sahabat sekaligus kepada dua belas raja
untuk mengajak mereka masuk Islam. Titah semacam itu jelas termasuk hadis ahad.
5)
Para sahabat dan tabi’in sering menggunakan hadis-hadis ahad
ketika mereka tidak menemukan penetapan hukum yang sedang mereka hadapi di dalam al-Qur’an, hadis
mutawatir, atau hadis yang masyhur. Terkadang mereka juga menggunakan pendapat
mereka sendiri, dan kemudian barulah mereka merujuk pada hadis yang mereka
ketahui untuk menetapkan hukum atas suatu perkara. Contohnya dalam perkara hak
seorang perempuan atas harta warisan yang berasal dari diyat suaminya yang
bernama ‘Asyam adh-Dhib ābi, setelah Umar bin
Khattab menetapkan diyat seseorang yang dibunuh adalah hak bagi ahli warisnya.
Begitu pula halnya dengan hukum diyat janin, dan perkataan Umar bin Khattab
yang berbunyi, “Andaikan saja aku tidak per nah mendengar hadis tentang ini
maka aku pasti akan menetapkan hukum yang berbeda dengan itu.”
Pendapat Imam Syafi’i di atas, nampaknya berangkat
dari asumnsi bahwa penyebutan ahad dan mutawatir hanyalah ketika hadis ditinjau
dari kuantitas rawi saja, bukan dari segi kualitasnya. Dengan demikian,
hadis-hadis mutawatir dianggap lebih unggul kualitasnya dibanding hadis-hadis
ahad, karena banyaknya rawi yang meriwayatkan. Keunggulan kualitas inilah yang
menyebabkan para ulama berpendapat bahwa hadis mutawatir dapat memberikan
pengertian yang meyakinkan (al-‘ilm a ḍ-ḍaruri).
Sementara hadis ahad hanya dapat memberikan pengertian yang kebenarannya perlu
di uji lagi (al-‘ilm an-na ḍari), yang
juga lazim dengan istilah zann (dugaan yang kuat).
Semoga artikel Kehujjahan Hadis Ahad tersebut bisa bermanfaat bagi para pembaca, dan baca juga artekel Kedudukan dan Kehujjahan Hadis. Wallahua'lam bishowab