Posted by Islam on Saturday, 7 March 2015
Nama lengkap Imam Syafi'i adalah Muhammad ibn Idris ibn al-‘Abbas ibn Utsman ibn Syafi’ ibn al-Sa’ib ibn Ubaid ibn Abd Ya zid ibn Hasyim ibn Abd al-Muthalib ibn Abd Manaf. Semasa hidupnya, ibu Imam Syafi’i adalah seorang ahli ibadah, sangat cerdas, dan dikenal sebagai seorang yang berbudi luhur.
Imam syafi’I lahir pada masa dinasti Abbasiyah . Saat itu adalah saat di mana masyarakat Islam sedang berada di puncak keemasannya. Kekuasaan Bani Abbas semakin terbentang luas dan kehidupan umat Islam semakin maju dan jaya. Masa itu memiliki berbagai macam keistimewaan yang memiliki pengaruh besar bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan kebangkitan pemikiran Islam.
Kota-kota di negeri Islam saat itu sedikit demi sedikit mulai dimasuki unsur-unsur yang beraneka ragam, mulai dari Persia, Romawi, India dan Nabath. Kota tersebut dipenuhi oleh masyarakat yang terdiri dari berbagai jenis bangsa.
Dengan kondisi masyarakat yang beragam ini tentunya akan banyak timbul aneka problema sosial. Setiap permasalahan yang timbul dari interaksi antar masyarakat tersebut tentunya akan diambil ketentuan hukumnya dari syariat. Sebab, syariat Islam adalah syariat yang bersifat umum.
Syariat tersebut akan memberikan muatan hukum bagi setiap permasalahan yang terjadi, baik permasalahan itu masuk dalam kategori permasalahan ringan ataupun berat. Pengamatan terhadap permasalahan yang terjadi akan memperluas cakrawala pemikiran seorang faqih sehingga ia dapat menemukan penyelesaian (solusi hukum) bagi masalah-masalah yang terjadi.
Imam Syafi'i dengan usaha ibunya telah dapat menghafal al-Qur'an dalam umur yang masih sangat muda (9 tahun) dan umur sepuluh tahun sudah hafal kitab al-Muwattha' karya Imam Malik. Imam Syafi’i belajar hadis dengan jalan mendengarkan dari para gurunnya, kemudian mencatatnya. Di samping itu ia juga mendalami bahasa Arab untuk menghindari pengaruh bahasa ‘Ajamiyah yang sedang melanda bahasa Arab pada saat itu, untuk pergi ke daerah Huzail untuk belajar bahasa selama sepuluh tahun.
Di samping itu ia mendalami bahasa Arab untuk menjauhkan diri dari pengaruh ‘ Ajamiyah yang sedang melanda bahasa Arab pada masa itu. Ia pergi ke Kabilah Huzail yang tinggal di pedusunan untuk mempelajari bahasa Arab yang fasih. Sepuluh tahun lamanya Imam Syafi'i tinggal di Badiyah itu,mempelajari syair, sastra dan sejarah. Di sana pula ia belajar memanah dan mahir dalam bermain panah. Dalam masa itu Imam Syafi'i menghafal al-Qur'an, menghafal hadis, mempelajari sastra Arab dan memahirkan diri dalam mengendarai kuda dan meneliti keadaan penduduk-penduduk Badiyah dan penduduk-penduduk kota.
Imam Syafi'i belajar pada ulama Makkah, baik pada ulama fiqih, maupun ulama hadis, sehingga ia terkenal dalam bidang fiqih dan memperoleh kedudukan yang tinggi dalam bidang itu.
Sampai kabar kepadanya bahwa di Madinah ada seorang ulama besar yaitu Malik bin Anas, yang memang pada masa itu terkenal di mana-mana dan mempunyai kedudukan tinggi dalam bidang ilmu dan hadis. Imam Syafi'i ingin pergi belajar kepadanya, akan tetapi sebelum pergi ke Madinah ia lebih dahulu menghafal al-Muwattha' karya Malik yang telah berkembang pada masa itu.Imam Syafi'i mengadakan mudārasah dengan Malik dalam masalah-masalah yang difatwakan Malik. Di waktu Malik meninggal tahun 179 H, Imam Syafi'i telah mencapai usia dewasa dan matang.
Di antara hal-hal yang secara serius mendapat perhatian Imam Syafi'i adalah tentang metode pemahaman Al-Qur'an dan Sunnah atau metode istinbath (ushul fikih).
Imam Syafi’i di samping menguasai dalam bidang al-Kitab, ilmu balaghah, ilmu fikih, ilmu berdebat juga terkenal sebagai muhaddits. Imam Sufyan ibn ‘Uyainah bila didatangi seseorang yang meminta fatwa, beliau terus memerintahkannya agar meminta fatwa kepada Imam Syafi’i, ujarnya “salu hadza al-ghulama” (bertanyalah kepada pemuda itu).
Dialah yang meletakkan dasar-dasar periwayatan. Dia juga yang berani secara terang-terangan berbeda pendapat dengan Imam Malik dan Abu Hanifah, yaitu bahwasannya ketika ada sanad yang shahih dan muttashil kepada Nabi saw, maka wajib beramal dengannya tanpa ada keterkaitan dan keterikatan dengan amal ahli Madinah sebagaimana yang disyaratkan oleh Imam Malik ataupun syarat-syarat Imam Abu Hanifah.
Pada tahun 195 H. beliau pergi ke Baghdad selama dua tahun, untuk mencari ilmu dan pendapat dari murid-murid Imam Abu Hanifah, ber-munadharah dan berdebat dengan mereka, kemudian kembali ke Makkah.
semoga artikel tentang
Ringkasan Biografi Imam Syafi'i tersebut bisa bermanfaat,amiin.
Wallohuaklam Bisowab