Posted by Islam on Saturday, 7 March 2015
Imam Syafi’i percaya, tidak ada pertentangan ( ikhtilaf) antara hadis satu dengan hadis yang lain, karena kebenaran tidak mungkin bertentangan dengan kebenaran yang lainnya. Menurutnya semua hadis indikasi yang menunjukkan adanya nasikh dan mansukh. Yang ada hanyalah perbedaan praktek yang ditransmisi dari praktek generasi sahabat dan juga perbedaan para sahabat dalam menakwilkan dan memahami makna hadis.
Pengertian Mukhtalif al-Hadîts
Istilah ini disusun dari dua buah kata, “Mukhtalif” dan “al-Hadîts”. Maka sebelum memasuki pengertiannya yang bersifat teknis dalam Ilmu Hadis, ada baiknya jika kita telaah terlebih dahulu pengertian kebahasaannya.
Mukhtalif merupakan IsmFa’il [bentuk subjek] yang diambil dari kata kerja Ikhtilaf. Kata ini memiliki tiga huruf dasar kha-lam-fa [k-l-f]. Ibnu Manzhur mengutip al-Laits dan Ibnu Sidah mengatakan khalfu [dengan sukun pada lam] berarti kebalikan arah depan [belakang]. Khalafa-Yakhlufu [shara khalfahu, berada di belakang], ikhtalafahu [akhadzahu min khalfih, mengambil sesuatu dari belakang], ikhtalafahu, khallafahu, wa akhlafahu [ja’alahu khalfahu, memposisikan di belakang]. Takhalluf [ta’akkhur, tertinggal di belakang]. Kata yang diderivasikan dari tiga huruf dasar ini selalu menyimpan pengertian ‘belakang’, yang kadang secara tidak langsung melibatkan pengertian ‘depan’ [lawannya] sebagai makna oposisi yang harus selalu terkait dengannya. Kata-kata turunannya seringkali menunjukkan terlibatnya ‘depan’, dalam percaturan makna derivatifnya. Sehingga dalam hal ini timbul pengertian biner antara dua hal; depan-belakang. Posisi biner semacam ini meniscayakan ketidaksamaan [‘adam al-ittifaq wa al-Tasawi] antara dua hal itu, keragaman [tanawwu’], dan bahkan adanya saling pertentangan satu sama lainnya. Ini dapat dilihat pada redaksi QS. al-An’am: 141, Wa al-Nahkla Wa al-Zar’a Mukhtalifan Ukuluh [Pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya].
Mukhtalif dalam ayat ini bermakna bermacam-macam. Yang disebut bermacam-macam tidak lain merupakan dua hal atau lebih yang antara satu dengan lainnya tidak sama. Contoh lain, Ikhtalafa al-Qaum [kaum itu berbeda pendapat], yang memiliki pengertian sebagian di antara mereka mengambil pilihan yang tidak sama [berbeda] dengan pilihan yang lain. Demikian sekilas pengertian ikhtilaf.
Hadis pada mulanya berarti lawan dari ‘yang lama’ [baru]. Perkataan disebut Hadis [Muhadatsah untuk pembicaraan] karena ia diwujudkan dengan cara diucapkan, sehingga dari yang tadinya tidak ada menjadi ada. Kajian hadis memiliki pengertian sendiri dalam hal ini. yakni setiap yang disandarkan kepada Nabi baik dalam bentuk ucapan, perbuatan, kesaksian [taqrir], ciri fisik, karakter perilaku, sejarah, baik sebelum atau setelah diutus sebagai rasul
Sedangkan Mukhtalif al-Hadîts menurut pengertian yang diberikan para ulama mempunyai makna yang berbeda-beda. Al-Hakim al-Naisaburi [w. 405 H.] menulis dalam bukunya, Ma’rifat ‘Ulum al-Hadîts, sebuah karya yang dianggap sebagai literatur pertama dan tertua dalam Ulum al-Hadîts, bahwa Mukhtalif al-Hadîts adalah,
سنن لرسول الله صلى الله عليه وسلم يعارضها مثلها فيحتج أصحاب المذاهب بأحدهما وهما في الصحة والسقم سيان
“Sunah-sunah Rasulullah saw. yang bertentangan dengan sesamanya, lalu para ulama memakai salah satunya sebagai dalil, di sisi lain keduanya setara dalam kesahihan dan kelemahannya.
Sedangkan al-Nawawi [w. 676 H.], yang hidup beberapa abad setelahnya, mendefinisikannya dengan,
أن يأتي حديثان متضادان في المعنى ظاهرا فيوفق بينهما او يرجح أحدهما
“Dua hadis yang secara lahiriah maknanya saling bertentangan, lalu dikompromikan atau dikuatkan salah satunya.”
Pada beberapa abad berikutnya, al-Suyuthi [w. 911 H.] mendefinisikan dengan,
حديث قد أباه اخر# فالجمع إن أمكن لاينافر
“Hadis yang ditolak oleh hadis lain, yang bila mungkin hendaknya di-jam’u.”
Pengertian-pengertian yang penulis kutip di atas memiliki beberapa titik persamaan. Sebagian memberikan penjelasan yang tidak diberikan oleh yang lain. Kesamaan masing-masing definisi itu di antaranya [1] adanya pertentangan antara dua hadis, dan [2] cara penyelesaian yang ditawarkan.
Menurut definisi al-Hakim, dua hadis yang bertentangan di sini harus memiliki kesetaraan dalam kesahihan dan kelemahan. Jika tidak setara maka tidak dapat disebut sebagai hadis mukhtalif. Sekalipun keduanya bertentangan. Semisal hadis sahih bertentangan dengan hadis yang lemah. Hanya pertentangan antara hadis sahih dengan hadis sahih lainnya, atau hadis yang lemah dengan hadis lemah lainnyalah yang dapat disebut Mukhtalif. Pengertian ini tentu saja tidak didapatkan dalam dua pengertian terakhir. Pengertian semacam ini tentu akan berbeda dengan pengertian yang dibawakan oleh pakar kontemporer Mahmud al-Thahhan seperti akan dijelaskan di bawah yang menegaskan kedua hadis itu harus maqbul [diterima], yang tentu saja harus berstatus sahih. Sehingga pertentangan yang terjadi antara dua hadis yang lemah-tidak diterima [dha’if-ghairu maqbul] tidak disebut Mukhtalif. Berbeda dengan definisi al-Hakim yang masih memberikan ruang bagi pertentangan hadis lemah. Padahal, menurut kaidah umumnya, hadis yang tidak diterima harusnya dimasukkan ke tempat sampah.
Sedangkan dari definisi al-Nawawi dapat ditarik pemahaman tentang bentuk pertentangan yang dimaksud. Yakni pertentangan yang tidak mungkin dipertemukan [tadhadud] menurut pengertian lahiriahnya. Jadi menyisakan pengertian hakikinya yang masih dimungkinkan dapat dipertemukan. Kemungkinan inilah yang akhirnya memunculkan solusi-solusi penyelesaian berupa taufiq atau tarjih. Sedangkan definisi al-Suyuthi terkesan lebih luas karena tidak menjelaskan kesetaraan kesahihan dua hadis, dan seperti apa bentuk pertentangannya. Dengan demikian dimungkinkan pertentangan itu berasal dari dua hadis yang berbeda status kesahihannya, dan pertentangan yang ada bersifat hakiki. Bukan sekadar lahiriahnya. Hal ini berkonsekuensi pada dimasukkan hadis Mudhtharib dalam kategori Mukhtalif. Karena, ketika kontradiksi antara dua hadis bersifat hakiki tentu saja akan meniscayakan ketidakmungkinan jam’u. Untuk penyelesaian, di sini al-Suyuthi hanya menawarkan satu cara. Yakni melalui metode jam’u. Untuk cara penyelesaian akan diuraikan dalam pembahasan tersendiri.
Kemudian untuk menutupi kekurangan yang ada dalam pengertian di atas, pakar hadis kontemporer memberikan pengertian yang lebih definitif. Mahmud al-Thahhan mengatakan,
الحديث المقبول المعارض بمثله مع إمكان الجمع
“Hadis yang diterima yang dipertentangkan dengan sesamanya disertai adanya kemungkinan jam’u.”
Ajjaj al-Khatib memberikan pengertian,
العلم الذي يبحث في الاحاديث التي ظاهرها متعارض فيزيل تعارضها أو يوفق بينهما كما يبحث في الاحاديث التي يشكل فهمها أوتصورها فيدفع إشكالها ويوضح حقيقتها
“Ilmu yang membahas hadis-hadis yang lahiriahnya bertentangan, lalu dihilangkan sisi pertentangannya atau di-taufiq antara keduanya, sebagaimana dibahas tentang kejanggalan pemahaman atau penggambaran atas hadis-hadis, lalu ditolak kejanggalannya dan dijelaskan hakikat sebenarnya.”
Pengertian yang diberikan Thahhan sekalipun lebih jelas dengan menyebutkan sisi diterimanya dua hadis yang bertentangan, yang secara tidak langsung menunjukkan kesahihannya, disertai adanya kemungkinan jam’u yang tentu saja dalam hal ini mengecualikan hadis Mudhtharib, karena tidak menyisakan ruang untuk jam’u, namun tidak dijelaskan solusinya. Sekalipun demikian, pengertian ini lebih mendekati standar pembuatan definisi yang melarang dimasukkannya hal-hal di luar hakikat objek yang didefinisikan. Solusi merupakan sesuatu yang berada di luar bentuk hadis yang menjadi objek kajian kita. Atas dasar inilah penulis memilih definisi yang dibawakan Mahmud al-Tahhan di atas sebagai cara pandang terhadap Mukhtalif al-Hadits.
Sebagaimana ungkapan Imam Syafi’i sebagai berikut:
Mengenai hadis-hadis yang berbeda tanpa ada indikasi tentang mana yang nasikh dan mana yang mansukh, tidak ada perselisihan didalamnya, seluruhnya sejalan dan benar. Karena Rasulullah saw adalah orang arab baik dari segi domisili maupun bahasa. Terkadang beliau berbicara sesuatu secara umum, dan maksudnya memang umum, dan terkadang beliau juga berbicara sesuatu secara umum, namun dengan maksud khusus.
Namun orang yang meriwayatkannya menyampaikan berita tersebut secara tidak lengkap dan ringkas, sehingga ia hanya menghasilkan sebagian makna tidak sebagian yang lain. Terkadang seorang perawi meriwayatkan hadis dari beliau hanya berisi jawaban dari Nabi saw, tanpa memahami pertanyaan yang memberinya petunjuk tentang esensi jawaban tersebut.
Terkadang Rasulullah saw menetapkan satu sunnah tentang satu hal, dan sunnah yang lain berbeda dengannya. Tetapi banyak orang yang tidak mencermati perbedaan dua kondisi yang melatarinya. Terkadang beliau juga menetapkan satu sunnah yang secara nash sejalan dengan al-Qur’an, lalu seorang perawi menghafalnya, dan pada saat yang lain beliau menetapkan sunnah lain yang dari segi makna berbeda dengan makna al-Qur’an karena ada perbedaan kondisi.
Terkadang beliau juga menetapkan satu sunnah secara garis besar dengan sebuah lafald? yang bersifat umum untuk menghalalkan atau mengharamkan sesuatu. Namun beliau juga menetapkan dengan lafald? lain dari satu sunnah yang berlawanan dengan ketentuan garis besar tersebut. Hal itu merupakan dalil bahwa beliau bermaksud membatasi sifat umum dari sunnah yang pertama.
Beliau tidak lupa menjelaskannya setiap kali me-nasakh suatu sunnah dengan sunnah yang lain.
Jika ada tradisi-tradisi (hadis) yang berbeda mengenai suatu masalah satu diantaranya. Dari aneka versi tradisi yang bersangkutan ia menganjurkan untuk memilih satu diantaranya yang lebih sesuai dengan al-Qur’an, karenasuatu hadis. Namun, jika tidak ada nash al-Qur’an yang menjelaskan tentang masalah tersebut, menurutnya, hadis yang paling baik dijadikan pegangan adalah yang paling shahih. Tolok ukurnya adalah orang yang meriwayatkannya itu lebih memahami sanad, lebih masyhur ilmunya, dan lebih menghafalnya. Atau hadis yang dijadikan pegangan itu diriwayatkan dari dua jalur riwayat atau lebih, sedangkan hadis yang ditinggalkan itu daripada riwayat yang lebih sedikit. Atau, hadis yang dijadikan pegangan itu lebih mendekati makna al-Qur’an, atau lebih mendekati sunnah Rasulullah yang lainnya.